Oleh: Enrico Simanjuntak
(Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara Palu, Sulawesi Tengah)
Sumber:
http://www.hukumonline.com
Diunduh tanggal 28 Agustus 2012
Setelah hampir 66
tahun merdeka, Indonesia belum memiliki perangkat hukum khusus untuk mengatur
proses penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang dijalankan melalui
mekanisme aktivitas birokrasi yang secara substansial sering diformulasikan
dalam Undang-Undang (UU) Prosedur Administrasi. Spanyol merupakan negara
pertama di dunia yang membentuk UU semacam ini yakni dengan
disahkannya Azcárate Law pada tanggal 19 Oktober 1889, selanjutnya
disusul oleh sejumlah negara lain seperti Austria (1925), Amerika Serikat
(1948), Hungaria (1957), Polandia (1960), Jerman (1976) dsb.
Legalisasi prosedur administrasi bukanlah sebagai
pengekangan terhadap sikap tindak administrasi negara melainkan sebagai panduan
bertindak dalam menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan kepadanya. Di
situlah esensi asas legalitas sebagai ciri ketiga negara hukum modern yakni
bahwa keabsahan dan kemanfaatan setiap keputusan pemerintah dapat dilihat dari
cara terjadinya, dan dari proses penyusunannya. Merespon kekosongan aturan
hukum tersebut, atas prakarsa dan terobosan MENPAN Kabinet Indonesia Bersatu I,
Taufiq Effendi, pada 2004 mulai disusun sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU)
yang mengatur dan memuat prosedur umum dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan,
khususnya dalam pembuatan keputusan pemerintahan.
Proses panjang dan berliku
Hampir sewindu sudah proses perjalanan penyusunan
RUU-AP. Pembahasannya masih terus berlanjut, terakhir sedang ditelaah oleh para
Kepala Daerah dalam Asosiasi Gubernur se-Indonesia, selanjutnya akan diteruskan
kepada para Bupati/Walikota(Forum Keadilan Edisi 3 April 2011). Guna menampung
masukan dari berbagai kalangan, perubahan draf materi RUU-AP telah terjadi
belasan kali, dan antara tahun 2007 dan 2011, sudah dua kali dibahas dalam
rapat kabinet terbatas di Istana Negara, termasuk dua kali dinominasikan masuk
daftar prolegnas di Senayan, tahun ini berada pada urutan ke-62 dari 71 RUU
yang ditargetkan untuk disahkan.
Sehubungan dengan rencana kerja pemerintah selama tahun
berjalan ini, dimana agenda Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola ditempatkan
sebagai prioritas pertama perhatian pemerintah, maka sebenarnya pengesahan
RUU-AP menjadi sangat relevan dan dibutuhkan guna menunjang terwujudnya rencana
kerja pemerintah tersebut. Apakah penyebab lambannya RUU ini disahkan?
Dari segi muatannya, konstruksi RUU AP tidaklah
diarahkan untuk sampai mengatur hal-hal yang bersifat teknis-operasional,
melainkan difokuskan ke sejumlah point pokok atau ketentuan umum (algemene
norm), yang bersifat mendasar dan mendesak. Antara lain seperti isu bagaimana
kebebasan bertindak aparatur pemerintah (diskresi), soal larangan konflik
kepentingan (conflict of interest), penyalahgunaan wewenang (abuse of power),
syarat pembuatan keputusan, penegasan sumber kewenangan dll. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa materi yang telah digarap selama ini, telah menyediakan
fondasi menuju transformasi tata kepemerintahan. Apabila materi yang ada
sekarang setelah disahkan dinilai masih belum optimal tentu kemudian dapat
dilakukan maksimalisasi melalui penyesuaian lebih lanjut baik melalui perubahan
maupun pengaturan lebih lanjut dalam aturan-aturan yang bersifat sektoral,
sebagaimana dipraktekan sejumlah negara yang sudah lebih dulu mengenal
legislasi semacam ini.
Ambil contoh Belanda, untuk memperbaharui wet AROB
menjadi AWB (Algemene wet bestuursrecht/General Administrative Law Act),
dilakukan secara bertahap: antara tahun 1994, 1998 dan 1999 dst. Sehingga point
utamanya di sini adalah bagaimana menjawab kekosongan UU AP dulu. Dikuatirkan
apabila semakin lama ditunda, seiring bergulirnya waktu, maka konsep yang sudah
disusun akan terancam maju-mundur, tak pelak risikonya adalah kondisi yang
hendak diperbaiki justru akan lebih sulit untuk ditangani. Nasib RUU KUHP yang
terkatung-katung sejak dua dasawarsa silam setidaknya mencontohkan kasus
tersebut. Memang, sejumlah kebijakan perundang-undangan lain maupun berbagai
produk hukum yang terkait di bidang penataan birokrasi juga, tidaklah sedikit
jumlahnya yang telah diupayakan terutama oleh Pemerintah. Terlebih lagi bila
dihubungkan dengan kehadiran UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Pelayanan
Publik, UU Ombudsman RI maupun kebijakan lainnya, namun kendati begitu bukanlah
berarti pengesahan RUU-AP telah kehilangan urgensinya. Di antara semua produk
hukum yang paling dibutuhkan saat ini, UU AP merupakan instrumen paling
strategis dan signifikan untuk menjawab kebutuhan pembaharuan masyarakat dan
birokrasi (law as a tool of social and bureucratic engineering).
Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika dikatakan
materi RUU-AP pada dasarnya merupakan perwujudan inti dari hakikat hukum
administrasi negara yaitu untuk memungkinkan aparatur pemerintah menjalankan
fungsinya serta melindungi warga dari sikap tindak aparatur tersebut dan
sekaligus untuk melindungi aparatur pemerintah itu sendiri.
Urgensi percepatan pengesahan.
Patut menjadi perhatian semua pihak, bahwa birokrasi
di sektor publik merupakan kekuatan yang besar sekali. Rentang kegiatannya
menyentuh dan mempengaruhi berbagai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sejalan dengan itu, gagalnya upaya untuk membenahi birokrasi akan
berdampak luas pada nasib rakyat maupun tujuan bernegara itu sendiri. Pada
titik ini, korupsi masih menjadi momok yang mengganggu kualitas birokrasi di
segala sektor publik. Bahkan, separuh dari jumlah kepala Daerah dikabarkan tersangkut
kasus korupsi atau setidaknya telah dijatuhi hukuman pidana. Angka tersebut
tentu sangat mencolok dan memprihatinkan, apalagi di balik angka tersebut dapat
diduga tabir gelap lain (the truth behind the cover-up), ibarat fenomena gunung
es: korupsi yang tergolong perbuatan mal-administrasi cenderung lebih banyak
yang tertutupi, dapat dirasakan tapi sulit dibuktikan.
Dalam konteks instrumen hukum tentang pencegahan
tipikor maupun aneka macam penyimpangan hukum lain yang terkait, tentu bukanlah
tugas hukum pidana semata, tetapi juga didalamnya terdapat aspek penting dari
hukum administrasi yang berkaitan dengan proses pembuatan dan implementasi
kebijakan publik pada umumnya. Di sisi lain, polemik akademis atau judisial
seputar titik singgung antara hukum administrasi dan pidana dalam soal
pemberantasan korupsi diharapkan mampu semakin dikelola lebih konstruktif pasca
pengesahan RUU ini nanti. Dalam bahasa yang paling sederhana, kelak keberadaan
UU AP akan mengisi fungsi preventif dari pencegahan korupsi yang menjadi domain
hukum administrasi, melengkapi pendekatan pidana yang bersifat represif.
Pada saat pengukuhannya sebagai Guru Besar di UI,
pakar hukum Administrasi, Prof Safri Nugraha menyatakan bahwa selama ini para
pejabat dan petugas administrasi negara di Indonesia lebih banyak menjalankan
tugasnya pada kebiasaan-kebiasaan dan bukan pada hukum positif yang mengatur
administrasi negara. Adalah suatu ironi, bahkan absurditas, apabila di sebuah
negara hukum praktik administrasi negara justru didasarkan pada dominasi
kebiasaan (bussiness as usual). Karena dalam praktik administrasi semacam
itu akan tumbuh subur bureaucratic click dan patron client
relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui
cara-cara yang tidak legal-formal, yang sangat rawan penyimpangan,
penyalahgunaan jabatan serta beragam perbuatan tercela lain atau mal
administrasi.
Untuk itulah diperlukan kerangka hukum yang jelas
dan tegas yang mengatur bagaimana para aparatur negara/pemerintah bertindak,
sebagaimana diupayakan oleh materi RUU-AP ini, agar terbangun prinsip legal
rational impersonal, sehingga setiap interaksi dan persoalan di
kantor/kedinasan diselesaikan menurut hukum yang didesain khusus untuk itu,
sebagaimana ciri birokrasi ala Weber di negara-negara maju, dimana tata
birokratisasi merupakan proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat
administrasi negara. Pada posisi itu pula peran dan kontribusi peradilan tata
usaha negara (administrative court) sangat strategis dan signifikan, baik
sebagai jembatan hukum antara pemerintah (administration) dengan warga
masyarakat (citizen) maupun sebagai the guardian of the rule of law and
good governance.
Dalam rangka pembenahan administrasi sektor publik
itulah, sedari awal para pihak yang concern dan terlibat dalam penggodokan
RUU-AP, sudah merekomendasikan perlunya RUU-AP disahkan sebagai hukum materiil,
dan menjadi kesatuan sistem dengan perubahan UU. PERATUN. Sayang, rekomendasi
tersebut sampai sekarang belum terwujud, masih menunggu komitmen dan
konsistensi politik hukum para pembuat undang-undang.
Memang, perjalanan masih jauh untuk ditempuh, semoga
tidak serasa menunggu Godot dalam lakon drama Samuel Beckket yang termasyhur
itu, karena jika demikian, maka dalil Montesquieu akan menjadi kenyataan:
“Useless laws weaken necessary laws”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar